Archives for category: Pendidikan

Ada yang konyol dengan mata pelajaran matematika kelas 3 di kurikulum KTSP. Kesan yang saya tangkap, sangat wagu.

Pertama, anak-anak sudah belajar penjumlahan dan pengurangan di kelas satu. Saat kelas dua, penjumlahan dan pengurangan sudah diajarkan cara meminjam. Perkalian dan pembagian juga sudah diajarkan di kelas 2. Namun mata pelajaran matematika siswa kelas 3 hanya mempelajari garis bilangan, penjumlahan dan pengurangan (lagi), serta perkalian pembagian (lagi)!

Alhasil, latihan soal sesulit apa pun, mereka akan mendapatkan nilai 100. Setiap kali dijelaskan, mereka juga akan bosan. Karena sudah bosan, akhirnya mereka ngobrol.

Tetapi inilah yang harus diajarkan untuk satu semester ganjil.

Saya tak tahu bagaimana dengan kurikulum 2013 yang nampaknya lebih acak lagi ketimbang kurikulum KTSP. Yang jelas, penyusunan kurikulum yang konyol seperti ini sungguh-sungguh tidak manusiawi. Untuk apa anak kelas 1 diajarkan penjumlahan dan pengurangan kalau toh di kelas 3 masih belajar penjumlahan dan pengurangan?

Lanjut lagi dari post sebelumnya. Di pekan ini, makin banyak aja “keajaiban” yang muncul. Mari kita rekap.

Di hari Selasa pekan lalu, saya masuk ke kelas IV. Masih mengajar mata pelajaran yang sama, matematika. Karena baru mulai masuk, maka pertama kali saya cuma bercerita di depan. Cerita kalau dulu alumni sini, lalu lulus di SMP x, SMA y, lalu di Universitas z. Tiba-tiba ada anak perempuan, duduk di belakang, bermuka bulat dan rambut dikuncir, mengacungkan tangan.

“Pak, tadi sama Bu Eli baru dikasih soal satu. Kok enggak dilanjutin?”

Buset. Baru pertama kali bertemu anak murid yang minta soal. Ya saya minta pengertian ke dia, kalau saya baru pertama masuk maka ingin berkenalan dengan mereka semua. Sekali lagi seperti yang saya lakukan di kelas-kelas sebelumnya, saya minta mereka menuliskan nama, cita-cita, hobi, dan mata pelajaran yang disukai.

Kemudian, setelah beberapa menit berselang, dia minta soal lagi. Ya sudah, akhirnya saya masuk ke pelajaran. Tiba-tiba si Lauren yang dari kemarin nguntit terus, berkata, “Si Laras kan umurnya baru 7 tahun, lho, Kak!”

Hah? Oh, jadi ini yang diceritakan oleh kepala sekolah?

Pada saat liburan sebelum mengajar, Bu Ambar, kepala sekolah saya, bercerita kalau ada anak yang sangat spesial. Di usia 1 tahun, dia sudah bisa membaca. Usia 1,5 tahun sudah mampu menulis. Kemudian lewat surat dari psikolog, seorang anak ini masuk ke kelas 1 SD pada usia 4 tahun. Karena memang sanggup mengerjakan soal ujian masuk, diterimalah dia di bangku kelas 1 SD. Enggak heran kalau diberi soal, dia sanggup menyelesaikan dengan baik. Tapi masih jauh lebih cepat si kiasu Diah. Mungkin, Diah dan Laras ini bisa dibilang seimbang. Hanya beda di usianya saja.

Kedua orang tuanya dosen di universitas ternama. Mungkin gen spesial ini yang membuat dia berbeda dari teman-temannya. Karena pada usia 1 tahun sudah bisa membaca, alhasil dia sudah membaca banyak hal. Pada saat saya membuka Kindle Touch, dia tahu kalau benda yang saya pegang itu adalah ebook reader! Katanya, dia pernah melihat (dan membaca) tentang ebook reader di suatu buku. Gila.

Karena masih kecil mungil, anak ini jadi perhatian semua pihak. Dia sering diikutkan ke lomba-lomba. Bahkan pernah memberi bunga kepada Mendagri Gamawan Fauzi. Hebatnya, meskipun usianya masih belia, dia tidak kuper. Ia tetap bisa bergaul dan mengikuti pelajaran.

Buku cerita

Lanjut lagi ke kelas lainnya. Saya masuk lagi ke kelas 3. Karena kelas ini terkenal dengan ributnya yang luar biasa, saya coba bawa 17 buku cerita dari taman baca. Ada cerita dari HC Andersen, cerita rakyat, dan lain-lain. Jika anak sudah selesai mengerjakan soal, mereka tidak boleh berisik. Sebagai aktivitas penggantinya, mereka boleh membaca buku yang saya bawa.

Eh, ternyata jurus saya lumayan ampuh. Beberapa anak yang suka baca, betah banget menghabiskan bukunya. Bahkan anak yang semula terang-terangan, “Ih, gak suka!” setelah melihat teman-temannya membaca, ikutan menghabiskan satu buku komik Dancow yang saya bawa.

Memang sih, ada beberapa anak yang tidak bisa diam dan tidak mau membaca. Ini lain persoalan. Tapi sedikit-demi sedikit harus dialihkan.

Maher Zein

Kemudian saya masuk ke kelas VI. Pada hari pertama masuk, buku PR sudah di meja guru. Wah, bagus sekali habit-nya. Setelah cerita-cerita, ternyata ada 2 anak yang merupakan adik dari teman saya di SD dulu! Yang satu adiknya Nana, yang satunya lagi adiknya Bintang.

Karena kelas 6 sudah hampir UN, maka saya cerita tentang kehidupan di SMP, SMA, dan Universitas. Saya buat mereka berani bermimpi tinggi-tinggi (sekaligus berani merealisasikan). Soalnya, dulu saya enggak bermimpi. Hasilnya pergi sekolah ya pergi sekolah aja. Baru bisa bermimpi saat akhir SMP dan SMA. Tapi realisasinya jelek, hehehe. Saya enggak pengen aja anak-anak di situ seperti itu.

Lagi-lagi saya minta mereka buat esai pendek tentang cita-cita dan ingin bersekolah di SMP mana. Lagi-lagi ada yang outliers. Bayangkan, di tulisan pendeknya, dia ingin kuliah di ITB. Perminyakan!

2013-07-24 22.27.54

Nah, tapi yang namanya dunia enggak ada yang baguusss melulu. Di kelas 6 ini ada juga anak yang kurang. Bahkan bisa dibilang sangat kurang. Sebut saja namanya Maher Zain. Anak ini tidak pernah mengerjakan PR. Setiap diterangkan juga tampangnya datar. Setiap kali ada soal latihan di kelas, selalu mengumpulkan terakhir. Aduh, bagaimana ini?

Selidik punya selidik, anak ini seharusnya tidak naik kelas. Tetapi karena yang membuat dia tidak bisa naik kelas hanya satu mata pelajaran: matematika, maka dinaikkanlah. Ya namanya manusia pasti punya sifat enggak tegaan, ya. Saya sih mafhum. Tapi gimana kalau dia enggak bisa mengerjakan soal UN nanti?

Romy Lamadjido

Hehe, maaf ya, Rom, bawa-bawa nama lo di sini. Habisnya, ada anak yang mirip banget sama Romy:

2013-07-24 09.27.44

Aan, anak kelas 6

Romy, mahasiswa MIT

Btw, Romy adalah kakak kelas saya waktu SMA dulu. Sekarang kuliah di Massachusets Institute of Technology (MIT). Semoga si Aan sadar kalau dia mirip dengan kakak kelas saya yang sekarang kuliah di universitas nomor 1 dunia itu. Lalu dia pergi kuliah di sana juga, amin.

Btw, si Aan ini juga suka ngelawak. Heran, jangan-jangan ini adek lo, Rom?

Melatih kompetisi

Karena akhir-akhir ini saya giat ikutan lomba, makanya saya pengen juga anak-anak yang saya ajar ini punya jiwa berkompetisi. Tentunya kompetisi yang sehat.

Caranya adalah dengan memberikan soal latihan. 10 anak tercepat, akan dapat nilai. Yang kalah cepat, tidak dinilai. Wuih, trik ini manjur di kelas 6 dan kelas 5. Tapi begitu saya uji di kelas 3, enggak manjur.

Setelah tahu bahwa anak ke-11 tidak dinilai, ada yang pasrah dan nyeletuk, “Ah, kalo gini mah mendingan enggak usah ngerjain!”

Wah gawat. Akhirnya saya ganti peraturannya: 10 tercepat, dapat tambahan 10 poin di hasil pekerjaannya. Kalau nilainya 100, ya poinnya 110. Mantap, semuanya jadi mengumpulkan.

Tapi ada satu hal yang bikin kesal. Yaitu mengerjakan tugasnya, lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali. Ini mengganggu teman-temannya yang sudah selesai. Memang sih ada buku, tapi ada saja anak yang pengen bertukar buku dengan temannya, dan membuat kegaduhan baru. Akhirnya saya buat peraturan kalau yang mengumpulkannya telat, tidak akan dinilai. Akhirnya bisa membuat mereka tepat waktu juga.

Oh iya, untuk kelas 6 saya minta mereka untuk membawa buku bacaan sendiri untuk mengisi waktu lowong. Habisnya bingung juga, mau bawa apa. Mereka, kan, sudah cukup besar.

Yang nyontek, mengerjakannya di kelas 1!

Tadi pagi ada ujian yang diselenggarakan dari Sudin Jakarta Selatan. Hari ini (Rabu, 24/07) jadwalnya Bahasa Indonesia dan PKn. Saya mengawas kelas 6. Nah, karena mereka sudah hampir UN, saya sangat strict.

1. Yang sudah selesai, boleh mengumpulkan. Tapi tidak boleh ribut setelah mengumpulkan. Gantinya, boleh membaca buku yang dibawa oleh masing-masing individu.

2. Yang ketahuan menyontek atau mengajak ngobrol temannya atau membuat kegaduhan, mengerjakan soal di kelas 1.

Mata saya jelalatan waktu mengawas. Eh, si Aan yang mirip Romy ini cepat sekali menyelesaikan soalnya. Habis itu, dia ngajak saya bercanda. Haduh, untungnya tidak membuat keributan.

Tapi ada satu anak di belakang, mengajak temannya ngobrol melulu. Temannya jadi tidak konsentrasi. Saya buat peringatan, “Siap-siap ya, kalau ada yang saya tunjuk untuk mengerjakan soal di kelas 1.”

Dia tidak juga diam. Malah makin menggila. Padahal selesai juga belum. Saya temui kepala sekolah dan mendiskusikan hal ini. Beliau masuk kelas, dan langsung anak ini diam. Tidak jadi dipindah ke kelas 1 deh.

Sejak itu, anak-anak menjadi makin menghargai guru. Mereka dekat, tapi tidak menjadi takut. Saya rasa memang seharusnya seperti itu, sih. Sebab, kalau takut, bagaimana bisa mereka menerima pelajaran? Tapi kalau meremehkan, guru akan terhina juga.

Sekian dulu, ya, untuk hari ini. Kita lanjutkan lagi pekan depan.

Senin, 15 Juli 2013

Kalau biasanya setelah makan sahur langsung tidur, kali ini tidak begitu. Kali ini saya mandi pagi-pagi, kemudian menerjang kemacetan di daerah Pasar Minggu.

Libur semester genap ini, saya mengajar di SD tempat saya bersekolah.

Mungkin karena sudah terbiasa bertemu anak-anak di Taman Baca Bulian, saya kali ini sudah tidak deg-degan lagi bertemu anak-anak. Masuk kelas, sudah tahu apa yang harus dilakukan. Pertama-tama, saya harus tegas. Kalau tidak tegas, mereka justru mempermainkan saya. Kedua, memperkenalkan diri. Kemudian anak-anak yang memperkenalkan diri.

Sejujurnya saya belum membuat pakem untuk mengajar kali ini. Otomatis semuanya dilaksanakan impromptu. Langsung saja, tidak ada persiapan apa-apa.

Pada saat perkenalan, kegaduhan pertama terjadi. Anak-anak yang memperkenalkan diri suaranya kecil. Alhasil teman-temannya berisik. Nah, ini saat yang tepat untuk membuat kesepakatan.

Saya tulislah di papan tulis. Kesepakatan 1:

Kalau ada yang berbicara, semuanya harus mendengarkan. Buat yang tidak mendengarkan….

Nah, saya tanya ke anak-anak inginnya diberi konsekuensi apa. Saya minta tiap anak yang ingin mengemukakan pendapatnya mengacungkan tangan. Fifi mengusulkan menorehkan tinta di kumisnya supaya membentuk kumis. Rizky, anak berkacamata yang nampaknya sangat cerdas, mengusulkan scott-jump. Yang lainnya menyuruh lari, dijewer, dijemur, push up, dan sit up. Waduh! Fisik semua!

Akhirnya diambillah kesepakatan: yang tidak mendengarkan, akan menyanyi potong bebek angsa di depan. Kemudian, tambahan dari saya, berdiri di depan kelas menghadap ke siswa selama 15 menit. Tujuannya tak lain supaya mereka sadar.

Semua sepakat. Spidol diketok. Yes.

2013-07-15 09.28.09

Maafkan tulisan saya yang jelek 🙂

Lanjut perkenalan. Kalau pertanyaan trivial pertama “tadi makan sahur pakai apa?”, sekarang diganti “hobi kamu apa?”. Bahkan diganti juga menjadi mata pelajaran yang kamu tidak suka apa. Read the rest of this entry »

Banyak pendapat mengenai baiknya mengurangi jam pelajaran sekolah. Alasannya antara lain karena dengan bergerak bebasnya anak-anak di luar sekolah, ia mampu mengeksplorasi hal lain lebih dalam. Selain itu, jam pelajaran yang terlalu banyak juga membuat anak merasa terkekang dan akhirnya tidak betul-betul belajar.

Tetapi tayangan video dari Edutopia ini berkata lain. Ada sekolah menengah di Charlestown, MA, yang kebanyakan siswanya tidak dapat memenuhi “standar kelulusan” Massachusetts. Dari berbagai hasil studi dan riset yang dilakukan, diterapkanlah penambahan jam belajar. Hari Senin-Kamis, pukul 07.00-16:30, dan hari Jumat waktu sekolah hanya setengah hari.

Hasilnya, menunjukkan peningkatan kualitas yang luar biasa. Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat di bawah ini

Keren sekali, bukan?

Sore tadi ada anak mencari buku tentang sains. Wah, tumben-tumbenan nih. Disodorkan beberapa buku mulai dari RPAL sampai semacam ensiklopedi ringan. Tapi dia berkata, “Buku yang ada soalnya, Kak.”

Saya bilang tidak ada. Soalnya di Bulian sendiri memang tidak ada buku pelajaran semacam itu. Saya bilang kalau dari buku-buku pop semacam “Hewan Berduri dan Beracun” atau ensiklopedi makhluk hidup bisa dibuat soal. Guru pun mungkin bakalan kesengsem kalau soal yang dibuatnya di luar mata ajar yang ada di sekolah. Tapi mereka seperti tidak berminat.

Ya sudah, saya sedikit menyerah. Lalu saya coba cari tahu mereka sedang belajar bab apa, siapa tahu buku untuk menyusun soalnya bisa dicocokkan. Mereka hanya menggeleng-geleng kecil. Dalihnya lupa sedang belajar apa. Bagaimana kalau itu merupakan indikasi anak tidak memahami dan menyukai apa yang dipelajari di sekolah?

Uhm, sedih deh rasanya. Datang ke sekolah tapi tidak paham apa pelajaran yang sedang dibahas. Mereka juga tidak berminat untuk menggali lebih dalam materi yang ada di sekolah. Meskipun membuat soal bukan perkara mudah, tapi toh sebenarnya bisa membuat soal dari buku-buku selain buku pelajaran.

Misalnya jika mereka sedang belajar tentang macam-macam energi dan bentuk perubahan energi. Siapa tahu di buku sekolah tidak ada penjelasan mengenai panel surya. Kalau mereka ingin iseng dikit, bisa saja setelah baca ensiklopedi ringan tentang energi mereka bisa membuat soal “Apa alat yang mengubah energi matahari menjadi energi listrik? Bagaimana cara kerjanya?” Guru mana coba yang tidak senang punya murid seperti itu?

Memang tidak mudah untuk membentuk anak yang kasmaran terhadap apa yang sedang dipelajarinya. Tapi itu bukan tak mungkin kok. Sangat mungkin.