Post ini mengandung banyak gambar. Mungkin akan membuat kecepatan koneksi internet menurun dan memakan kuota pemakaian internet.

Steve Jobs muda melakukan perjalanan ke India. Feross Aboukhadijeh menyarankan anak muda untuk melakukan perjalanan ke manapun–selagi muda!

Sebagai mahasiswa yang sedang libur semester genap, saya pengen banget jalan-jalan. Hitung-hitung mengisi liburan dan menambah pengalaman. Akhirnya ditemukanlah trip ala backpacker ke Ujung Kulon, Banten. Karena diselenggarakan oleh “agen perjalanan” (sebenarnya agen ini adalah sekumpulan anak muda yang gemar backpacking, lalu menjadikan perjalanan ke suatu tempat sebagai sarana hiburan dan penghasilan sampingan), maka saya harus menyesuaikan waktu perjalanan dengan yang ditentukan agen. Trip ini bakal diselenggarakan pada tanggal 26-28 Juli 2013. Wah, pada bulan Ramadhan! Kalau ikut, apa bakal kuat berpuasa sampai senja menjelang, ya?

Tak hanya masalah waktu, masalah teman juga perlu dipikirkan. Kebetulan teman yang saya kenal tidak ada yang bisa ikutan. Alhasil saya “sendirian” di trip ini. Kalau ingin punya kenalan supaya di perjalanan tidak bengong, harus ngobrol banyak dengan anggota trip lain.

Bukan hanya itu, kocek juga menjadi problema tersendiri. Untuk trip 3 malam 2 hari ini (yes, sebab berangkat ke Ujung Kulonnya pada malam hari) dikenakan tarif sebesar 610 ribu rupiah. Tergolong berat untuk kantong mahasiswa. Tetapi jika dibandingkan dengan trip-trip bulan berikutnya, ini tergolong paling murah: trip lainnya ada yang mematok harga 800 ribu rupiah.

Ujung Kulon! Kami akan bertualang ke Pulau Handeleum, Pulau Peucang, dan Pulau Jawa.

Sebenarnya di antara tiga problem di atas, hal yang paling membuat ragu untuk ikut trip ini adalah dilaksanakan saat bulan Ramadhan. Sebagai muslim, saya memiliki kewajiban untuk berpuasa. Apa bakal kuat, ya?

Setelah dipikir-pikir, enggak ada salahnya, kan, backpacking saat berpuasa? Malah kalau puasanya tetap tahan sampai maghrib, itu menjadi prestasi tersendiri! Belum lagi ada Festival Ramadhan yang diselenggarakan oleh http://www.burufly.com/, fix saya harus ikut! (Monggo kunjungi BuruFly untuk info travelling lebih lengkap!)

Akhirnya setelah membulatkan tekad, saya mendaftar trip ini. Yeay!

Berangkat!

Setelah berbuka puasa dan shalat maghrib, berangkatlah saya menuju tempat berkumpul. Halte BNN Cawang. Setelah menaklukkan bus Trans Jakarta yang penuh dan menghadapi jalanan yang macet, tibalah saya di halte BNN Cawang pada pukul 20:23. Di sana saya bertemu langsung dengan Rossy, sang pimpinan agen perjalanan. Ternyata trip ini diikuti 2 orang bule asal Perancis!

Setelah berkenalan dengan beberapa anggota trip–ada Ian, Winny, Aji, dan Krista–pada pukul 21:20 kami berangkat menggunakan bus kecil. Ujung Kulon, I’m coming!

Saya penasaran, di antara 20 anggota trip ini, berapa orang, ya, yang berpuasa?

Tepat pukul 22:00 malam, bus berhenti di tempat peristirahatan tol Merak. Waktu berhenti selama 30 menit saya manfaatkan untuk makan malam dan shalat Isya. Sekembalinya ke bus, Bung Rossy berkata, “Jadi yang puasa besok, ada Tofan, Winny, dan Rina?”

Wow, cuma bertiga! Pertama kalinya saya merasakan menjadi minoritas 😛

“Yaaa,” jawab kami serempak. Ternyata yang lainnya memang tidak berpuasa. Ujar Bung Rossy, nanti kami bertiga akan sahur duluan, tidak bersama-sama dengan yang sarapan.

Sehabis itu saya langsung berkenalan dengan Rina. Seorang muda yang selanjutnya saya panggil Kak Rina ini ternyata sudah memiliki anak. Walau usianya sudah kepala 3, tetapi wajahnya masih awet muda. Selain mengurus rumah tangga, keseharian Kak Rina mengawasi pabrik jamu skala rumah tangga miliknya. Sementara Winny adalah seorang karyawati di pabrik semen. Usianya kepala 2. Setelah mengeksplor, ternyata saya sendirian yang usianya masih kepala 1, dan berpuasa pula.

Sahur dan sarapan

Setelah melalui perjalanan yang luar biasa–kemacetan, truk di sana-sini, jalanan rusak dan gelap–sekitar pukul 04:00 kami tiba di Sumur, Banten. Katanya ini sudah dekat dengan Ujung Kulon. Saya yang masih setengah sadar diajak untuk makan sahur.

Kirain, makanannya sudah dibungkus dari Jakarta dan tinggal dibagikan di bus. Lalu makannya di bus juga. Ternyata kami turun dari bus, dan berjalan kaki mencari warung makan.

“Ini pasar terakhir, sehabis ini sudah tidak ada pasar lagi. Makanya kita makannya di sini,” ujar Rossy.

Setelah berjalan sekitar 40 meter, kami bertemu dengan warung makan sederhana. Ada lauk ayam, daging, dan sayuran. “Ambil aja, ya!” ujar Rossy. Tapi bapak penjaga warung berkata lain.

“Nasinya habis, Mas.” Read the rest of this entry »