Lanjut lagi dari post sebelumnya. Di pekan ini, makin banyak aja “keajaiban” yang muncul. Mari kita rekap.

Di hari Selasa pekan lalu, saya masuk ke kelas IV. Masih mengajar mata pelajaran yang sama, matematika. Karena baru mulai masuk, maka pertama kali saya cuma bercerita di depan. Cerita kalau dulu alumni sini, lalu lulus di SMP x, SMA y, lalu di Universitas z. Tiba-tiba ada anak perempuan, duduk di belakang, bermuka bulat dan rambut dikuncir, mengacungkan tangan.

“Pak, tadi sama Bu Eli baru dikasih soal satu. Kok enggak dilanjutin?”

Buset. Baru pertama kali bertemu anak murid yang minta soal. Ya saya minta pengertian ke dia, kalau saya baru pertama masuk maka ingin berkenalan dengan mereka semua. Sekali lagi seperti yang saya lakukan di kelas-kelas sebelumnya, saya minta mereka menuliskan nama, cita-cita, hobi, dan mata pelajaran yang disukai.

Kemudian, setelah beberapa menit berselang, dia minta soal lagi. Ya sudah, akhirnya saya masuk ke pelajaran. Tiba-tiba si Lauren yang dari kemarin nguntit terus, berkata, “Si Laras kan umurnya baru 7 tahun, lho, Kak!”

Hah? Oh, jadi ini yang diceritakan oleh kepala sekolah?

Pada saat liburan sebelum mengajar, Bu Ambar, kepala sekolah saya, bercerita kalau ada anak yang sangat spesial. Di usia 1 tahun, dia sudah bisa membaca. Usia 1,5 tahun sudah mampu menulis. Kemudian lewat surat dari psikolog, seorang anak ini masuk ke kelas 1 SD pada usia 4 tahun. Karena memang sanggup mengerjakan soal ujian masuk, diterimalah dia di bangku kelas 1 SD. Enggak heran kalau diberi soal, dia sanggup menyelesaikan dengan baik. Tapi masih jauh lebih cepat si kiasu Diah. Mungkin, Diah dan Laras ini bisa dibilang seimbang. Hanya beda di usianya saja.

Kedua orang tuanya dosen di universitas ternama. Mungkin gen spesial ini yang membuat dia berbeda dari teman-temannya. Karena pada usia 1 tahun sudah bisa membaca, alhasil dia sudah membaca banyak hal. Pada saat saya membuka Kindle Touch, dia tahu kalau benda yang saya pegang itu adalah ebook reader! Katanya, dia pernah melihat (dan membaca) tentang ebook reader di suatu buku. Gila.

Karena masih kecil mungil, anak ini jadi perhatian semua pihak. Dia sering diikutkan ke lomba-lomba. Bahkan pernah memberi bunga kepada Mendagri Gamawan Fauzi. Hebatnya, meskipun usianya masih belia, dia tidak kuper. Ia tetap bisa bergaul dan mengikuti pelajaran.

Buku cerita

Lanjut lagi ke kelas lainnya. Saya masuk lagi ke kelas 3. Karena kelas ini terkenal dengan ributnya yang luar biasa, saya coba bawa 17 buku cerita dari taman baca. Ada cerita dari HC Andersen, cerita rakyat, dan lain-lain. Jika anak sudah selesai mengerjakan soal, mereka tidak boleh berisik. Sebagai aktivitas penggantinya, mereka boleh membaca buku yang saya bawa.

Eh, ternyata jurus saya lumayan ampuh. Beberapa anak yang suka baca, betah banget menghabiskan bukunya. Bahkan anak yang semula terang-terangan, “Ih, gak suka!” setelah melihat teman-temannya membaca, ikutan menghabiskan satu buku komik Dancow yang saya bawa.

Memang sih, ada beberapa anak yang tidak bisa diam dan tidak mau membaca. Ini lain persoalan. Tapi sedikit-demi sedikit harus dialihkan.

Maher Zein

Kemudian saya masuk ke kelas VI. Pada hari pertama masuk, buku PR sudah di meja guru. Wah, bagus sekali habit-nya. Setelah cerita-cerita, ternyata ada 2 anak yang merupakan adik dari teman saya di SD dulu! Yang satu adiknya Nana, yang satunya lagi adiknya Bintang.

Karena kelas 6 sudah hampir UN, maka saya cerita tentang kehidupan di SMP, SMA, dan Universitas. Saya buat mereka berani bermimpi tinggi-tinggi (sekaligus berani merealisasikan). Soalnya, dulu saya enggak bermimpi. Hasilnya pergi sekolah ya pergi sekolah aja. Baru bisa bermimpi saat akhir SMP dan SMA. Tapi realisasinya jelek, hehehe. Saya enggak pengen aja anak-anak di situ seperti itu.

Lagi-lagi saya minta mereka buat esai pendek tentang cita-cita dan ingin bersekolah di SMP mana. Lagi-lagi ada yang outliers. Bayangkan, di tulisan pendeknya, dia ingin kuliah di ITB. Perminyakan!

2013-07-24 22.27.54

Nah, tapi yang namanya dunia enggak ada yang baguusss melulu. Di kelas 6 ini ada juga anak yang kurang. Bahkan bisa dibilang sangat kurang. Sebut saja namanya Maher Zain. Anak ini tidak pernah mengerjakan PR. Setiap diterangkan juga tampangnya datar. Setiap kali ada soal latihan di kelas, selalu mengumpulkan terakhir. Aduh, bagaimana ini?

Selidik punya selidik, anak ini seharusnya tidak naik kelas. Tetapi karena yang membuat dia tidak bisa naik kelas hanya satu mata pelajaran: matematika, maka dinaikkanlah. Ya namanya manusia pasti punya sifat enggak tegaan, ya. Saya sih mafhum. Tapi gimana kalau dia enggak bisa mengerjakan soal UN nanti?

Romy Lamadjido

Hehe, maaf ya, Rom, bawa-bawa nama lo di sini. Habisnya, ada anak yang mirip banget sama Romy:

2013-07-24 09.27.44

Aan, anak kelas 6

Romy, mahasiswa MIT

Btw, Romy adalah kakak kelas saya waktu SMA dulu. Sekarang kuliah di Massachusets Institute of Technology (MIT). Semoga si Aan sadar kalau dia mirip dengan kakak kelas saya yang sekarang kuliah di universitas nomor 1 dunia itu. Lalu dia pergi kuliah di sana juga, amin.

Btw, si Aan ini juga suka ngelawak. Heran, jangan-jangan ini adek lo, Rom?

Melatih kompetisi

Karena akhir-akhir ini saya giat ikutan lomba, makanya saya pengen juga anak-anak yang saya ajar ini punya jiwa berkompetisi. Tentunya kompetisi yang sehat.

Caranya adalah dengan memberikan soal latihan. 10 anak tercepat, akan dapat nilai. Yang kalah cepat, tidak dinilai. Wuih, trik ini manjur di kelas 6 dan kelas 5. Tapi begitu saya uji di kelas 3, enggak manjur.

Setelah tahu bahwa anak ke-11 tidak dinilai, ada yang pasrah dan nyeletuk, “Ah, kalo gini mah mendingan enggak usah ngerjain!”

Wah gawat. Akhirnya saya ganti peraturannya: 10 tercepat, dapat tambahan 10 poin di hasil pekerjaannya. Kalau nilainya 100, ya poinnya 110. Mantap, semuanya jadi mengumpulkan.

Tapi ada satu hal yang bikin kesal. Yaitu mengerjakan tugasnya, lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali. Ini mengganggu teman-temannya yang sudah selesai. Memang sih ada buku, tapi ada saja anak yang pengen bertukar buku dengan temannya, dan membuat kegaduhan baru. Akhirnya saya buat peraturan kalau yang mengumpulkannya telat, tidak akan dinilai. Akhirnya bisa membuat mereka tepat waktu juga.

Oh iya, untuk kelas 6 saya minta mereka untuk membawa buku bacaan sendiri untuk mengisi waktu lowong. Habisnya bingung juga, mau bawa apa. Mereka, kan, sudah cukup besar.

Yang nyontek, mengerjakannya di kelas 1!

Tadi pagi ada ujian yang diselenggarakan dari Sudin Jakarta Selatan. Hari ini (Rabu, 24/07) jadwalnya Bahasa Indonesia dan PKn. Saya mengawas kelas 6. Nah, karena mereka sudah hampir UN, saya sangat strict.

1. Yang sudah selesai, boleh mengumpulkan. Tapi tidak boleh ribut setelah mengumpulkan. Gantinya, boleh membaca buku yang dibawa oleh masing-masing individu.

2. Yang ketahuan menyontek atau mengajak ngobrol temannya atau membuat kegaduhan, mengerjakan soal di kelas 1.

Mata saya jelalatan waktu mengawas. Eh, si Aan yang mirip Romy ini cepat sekali menyelesaikan soalnya. Habis itu, dia ngajak saya bercanda. Haduh, untungnya tidak membuat keributan.

Tapi ada satu anak di belakang, mengajak temannya ngobrol melulu. Temannya jadi tidak konsentrasi. Saya buat peringatan, “Siap-siap ya, kalau ada yang saya tunjuk untuk mengerjakan soal di kelas 1.”

Dia tidak juga diam. Malah makin menggila. Padahal selesai juga belum. Saya temui kepala sekolah dan mendiskusikan hal ini. Beliau masuk kelas, dan langsung anak ini diam. Tidak jadi dipindah ke kelas 1 deh.

Sejak itu, anak-anak menjadi makin menghargai guru. Mereka dekat, tapi tidak menjadi takut. Saya rasa memang seharusnya seperti itu, sih. Sebab, kalau takut, bagaimana bisa mereka menerima pelajaran? Tapi kalau meremehkan, guru akan terhina juga.

Sekian dulu, ya, untuk hari ini. Kita lanjutkan lagi pekan depan.