*Ehm, lagi iseng buat tulisan untuk Sosma Metalurgi Material UI. Enjoy!

Siapa tak kenal Martin Luther King Jr., pahlawan anti-rasisme dan anti-segregasi asal Amerika Serikat. Tokoh berkulit hitam revolusioner ini meraih gelar doktoral teologi sistematik dari Boston University pada tahun 1955. Setelah bertahun-tahun barulah diketahui bahwa King Jr. melakukan plagiat pada disertasinya. Pada review jurnal yang diselenggarkaan tahun 1989-1990, Universitas Boston menemukan bahwa sepertiga disertasi King Jr. adalah hasil salinan mentah tanpa sitasi dari disertasi lain.

Bahkan pidatonya dia yang teramat mahsyur, “I Have a Dream”, diketahui meniru pidato Archibald Carey Jr. yang diberikan pada Konvensi Nasional Partai Republikan (RNC) pada tahun 1952. Wow!

Institusi pendidikan ternama Harvard University pun dibuat geger oleh kasus plagiarisme. Pada 2012 terjadi skandal plagiarisme berjamaah yang melibatkan 125 mahasiswa. Media memberitakan bahwa ke-125 mahasiswa itu menyontek ujian akhir bawa-pulang mata kuliah Introduction to Congress yang diajar oleh Prof. Matthew B. Platt. Diketahui penyebab menyontek berjamaah itu karena sang Professor sangat murah nilai. Ini menyebabkan mahasiswa cenderung memilih untuk menyontek pekerjaan milik teman, karena toh akan diberi nilai yang bagus.

Tak hanya di luar negeri, di Indonesia marak ditemui kasus plagiarisme. Tiga tahun silam dunia pendidikan Indonesia dibuat heboh dengan kasus plagiarisme yang dilakukan Dr. Mochammad Zuliansyah. Makalah yang dipublikasikan doktor lulusan ITB di konferensi IEEE China tahun 2008 ini merupakan jiplakan dari makalah milik Siyka Zlatanova, seorang ilmuwan asal Austria.

Pada tahun 2011, seorang dokter syaraf sekaligus seleb twitter Ryu Hasan juga tertangkap basah melakukan plagiat. Ryu Hasan membawakan makalah yang berjudul “Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme” pada diskusi ilmiah yang diadakan di Freedom Institute. Tak berapa lama, diketahui bahwa seluruh isi makalah yang dibawakan adalah murni terjemahan bab 6 buku How We Decide karya Jonah Lehrer. Ryu Hasan tidak menyebut nama seorang ilmuwan sekaligus wartawan sains ini sama sekali pada diskusi ilmiah tersebut. Parahnya, Ryu Hasan mengklaim karya tersebut adalah miliknya dan hasil pemikirannya. Walah! Memang beberapa hari setelahnya Ryu Hasan mengajukan permohonan maaf di media sosial. Tetapi tidak sepantasnya seorang akademisi melakukan terjemahan mentah dan mengaku terjemahan itu sebagai karyanya.

Plagiarisme tak hanya ramai di dunia pendidikan. Dunia industri musik, seni rupa, jurnalistik, dan internet pun dibanjiri kasus plagiarisme. Tujuh dari 12 lagu di album grup band D’masiv “Perubahan” adalah hasil plagiat. Buku The Da Vinci Code karya Dan Brown dituding merupakan hasil plagiat pada 3 buku lain. Pada dunia jurnalisme, Jonah Lehrer dituding melakukan plagiat atas dirinya sendiri. Ini terjadi karena Lehrer membuat satu tulisan untuk 5 media yang berbeda: The New Yorker, The Wall Street Journal, The Boston Globe, The Guardian, dan Wired.

Karena dianggap merugikan kehidupan manusia, kasus plagiarisme menjadi perhatian yang serius bagi banyak kalangan dan organisasi di dunia.

Plagiarisme di kampus kita

Tak perlu pergi jauh untuk mengkaji kasus plagiarisme. Di kampus cukup marak kasus plagiarisme—terutama yang dilakukan mahasiswa strata satu. Mulai dari mahasiswa yang menyontek pekerjaan rumah, melihat jawaban ujian teman, menyalin habis-habisan laporan praktikum, hingga membuat karya tulis bodong. Kasus di kampus kita lebih mengkhawatirkan ketimbang kasus plagiarisme yang terjadi di Harvard atau di ITB, mengingat bisa saja pelakunya teman kita sendiri.

Banyak hal yang telah dilakukan oleh pihak dosen, dekanat, maupun asisten untuk menekan kasus plagiarisme. Sayangnya jika ditilik, seringkali solusi yang diajukan sudah obsolete. Terkadang solusi tersebut juga belum mengakar pada permasalahan pokok.

Bolehlah kita bercermin pada kasus plagiarisme yang terjadi di Harvard. Di atas disebutkan bahwa ke-125 mahasiswa tersebut menyontek karena sang Professor menjanjikan nilai bagus dengan mudah. Hal ini sungguh menarik.

Di FTUI juga kerap ditemukan tenaga pengajar yang wataknya sama seperti Prof. Platt. Karena sudah pasti mendapatkan nilai bagus, maka tugas yang diberikan pengajar tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Sang pengajar pun tidak peduli dengan hal tersebut, yang menyebabkan timbulnya lingkaran setan. Kalau sudah begini, yang harus memutus adalah sang pengajar itu.

Kemungkinan lain yang menyebabkan timbulnya plagiarisme adalah tenaga pengajar yang kerap kali tidak membaca tugas mahasiswa dengan sungguh-sungguh. Selain itu ada juga tenaga pengajar yang tidak peduli dengan kasus plagiarisme. Misalnya jika seorang mahasiswa menyalin habis-habisan pekerjaan rumah dari solusi manual, ada saja tenaga pengajar yang senang karena hal itu justru memudahkan pekerjaannya. Ada juga kasus sang pengajar tidak membaca tugas mahasiswanya sungguh-sungguh dengan dalih kesibukan. Hal ini menyebabkan banyak tugas yang lolos dari saringan plagiarisme.

Jika kasusnya seperti ini, pengajar harus bertindak tegas. Caranya dengan mulai subyektif dalam menilai tugas. Kemudian ke depannya, mulai berani memberi nilai buruk untuk tugas hasil plagiat.

Namun seringkali sang dosen sudah galak, memberikan nilai jelek untuk karya plagiat, tetapi mahasiswa tidak kapok melakukan plagiat. Akhirnya muncullah ide mewajibkan menulis tangan pada setiap tugas. Alternatif ini dijalankan supaya kalau toh si mahasiswa itu melakukan plagiat, dia masih menulisnya dengan usaha sendiri. Sebab kalau diketik, bisa jadi mahasiswa hanya copy-paste pekerjaan milik temannya. Mengumpulkan tugas dalam bentuk lunak juga memperbesar terjadinya plagiat dari situs di internet.

Solusi tersebut seringkali hanya efektif di awal saja. Seiring berjalannya waktu, plagiat tetap saja terjadi, bahkan terjadi lebih parah. Mungkin mahasiswa berpikir, daripada capek-capek mikir dan nulis, lebih baik capek menulis saja. Kalau sudah begini yang serius mengerjakan tugas akan merasa dirugikan. Kewajiban menulis tugas dengan tangan (terutama yang panjang dan memakan waktu) justru merugikan mahasiswa yang jujur dan ingin produktif. Waktu yang seharusnya bisa ia lakukan untuk mengerjakan tugas atau proyek lain, misalnya, harus direlakan untuk menulis tangan. Bagaimana ini, merugikan banyak pihak?

Jika mau belajar dari negeri lain, tugas menulis tangan adalah solusi yang sudah obsolete. Sudah kedaluarsa. Sebab saat ini sudah ada piranti lunak untuk menghindari terjadinya kasus plagiarisme di dunia akademik. Salah satu contohnya adalah turnitin.com. Universitas di Britania Raya dan Amerika Serikat sudah menggunakan situs ini untuk pengecek plagiarisme. Cara kerja situs pengecek plagiat gratis ini adalah dengan membandingkan pekerjaan mahasiswa dengan milyaran situs internet, dan jutaan makalah yang pernah diunggah ke situs tersebut sebelumnya. Jika ditemukan 5 kata berturut-turut yang sama, maka situs ini akan memberitahukan indikasi plagiarisme. Situs ini juga menawarkan sistem peer-review yang memungkinkan tugas seorang mahasiswa dibaca dan dinilai oleh tenaga akademik lain.

Tentunya sistem peer-review membutuhkan dukungan dari seluruh kalangan akademisi. Sebab jika atmosfer anti-plagiarisme tidak kuat, maka akademisi akan malas juga untuk mengoreksi tulisan mahasiswa tersebut. Di sini dibutuhkan sinergi antara pengoreksi dengan sistem algoritma yang dibuat.

Budaya bernalar

Jika yang disebutkan tadi hanya mencakup plagiarisme di dunia akademisi, bagaimana dengan di ranah seni yang notabene tidak mungkin ada turnitin.com-nya? Atau di dunia musik yang notabene sulit untuk membuat algoritma pemrograman yang membandingkan musik? Ini menarik, sebab nyatanya dari seluruh kasus plagiarisme yang ada—di ranah apapun—memiliki satu akar penyebab utama.

Beberapa pekan yang lalu saya mengikuti Bincang Edukasi yang dihadiri oleh Guru Besar Matematika ITB Iwan Pranoto. Pada presentasinya, beliau menekankan pentingnya budaya bernalar bagi seluruh penduduk Indonesia. Beliau mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung kepada menghafal, bukan untuk memecahkan masalah (bernalar). Sistem pendidikan kita juga terlalu mengedepankan nilai (grade) ketimbang mutu (value). Sistem ujian kita yang lebih banyak menggunakan pilihan ganda juga akar permasalahannya. Inilah yang menjadi salah satu akar dari masalah plagiat, ujarnya. Dengan sistem pendidikan yang serba menghafal, siswa akan cenderung takut jika dia tidak ingat apa yang telah dipelajarinya. Karena sistem pendidikan kita mengedepankan nilai, maka siswa akan takut dimarahi orang tua jika nilai ujiannya jelek. Parahnya sifat seperti ini sudah dipupuk sejak masa TK, hingga SMA. Ketika TK, anak takut jika ia tidak hafal warna pelangi, sehingga tidak berani berkreasi. Ketika SD, anak tidak mengetahui jawaban suatu soal, namun karena pilihan ganda ia menjadi santai dan tidak perlu berpikir keras. Ketika SMP, siswa takut tidak lulus UN maka menyontek. Dan seterusnya. Jika sistem pendidikan tidak dibenahi supaya mengajak murid untuk bernalar, maka jangan harap kasus plagiat dan korupsi akan sirna di muka bumi ini, ujarnya.

Budaya menghafal dan berorientasi pada nilai (grade) menyebabkan siswa tidak mengetahui tujuan utama dari pendidikan yang sedang dienyamnya. Budaya menghafal dan pilihan ganda yang instan juga membuat siswa begah dan takut saat belajar di kelas. Yang paling parah, budaya menghafal (bukan budaya bernalar) justru menyebabkan orang berpikir bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menghafal banyak hal. Bukan untuk melatih berpikir supaya bisa menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini terulang terus sejak kecil hingga dewasa. Inilah yang menyebabkan terjadinya plagiarisme: tidak timbulnya rasa kasmaran antara siswa/mahasiswa dengan sesuatu yang dipelajarinya, sehingga membuat siswa itu tidak mampu bernalar. Implikasinya siswa tidak tahu dan malas mencari tahu tentang sesuatu yang sedang dipelajarinya. Karena tidak tahu, malas bernalar, dan tidak ingin mencari tahu, maka berujung pada plagiat.

Inilah yang menyebabkan terjadinya plagiat pada ranah apapun. Karena seniman tidak bernalar dan tidak sanggup berimajinasi, maka ia menyerah pada plagiarisme. Karena seorang jurnalis malas membuat tulisan, maka ia menyerah pada plagiarisme. Karena seorang mahasiswa tidak kasmaran dengan yang dipelajarinya, ia membuat karya tulis bodong. Betapa bahayanya!

Memang budaya bernalar ditumbuhkan sejak kecil, namun bukan berarti budaya bernalar tidak bisa dilatih ketika dewasa. Salah satu caranya adalah dengan mencintai apa yang dipelajari, fokus pada hal tersebut, menggali lebih dalam, memecahkan masalah dengan cara tersendiri, dan terus berdiskusi.

Plagiarisme: Peperangan Tiada Henti

Jikapun bangsa Indonesia di masa depan sudah terbentuk budaya bernalar, bukan berarti plagiarisme bisa hilang seketika. Plagiarisme masih tetap ada. Seiring semakin banyaknya jumlah manusia—salah satu faktor plagiarisme baru merebak pada abad ke-18 karena sebelumnya jumlah manusia di muka bumi ini yang sangat sedikit—maka kemungkinan plagiat akan tetap terjadi.

Semula, plagiarisme pada tulisan elektronik terjadi. Maka muncullah inovasi dengan kembali menulis tangan. Namun karena tidak efektif memberantas plagiarisme dan menulis tangan adalah membuang-buang waktu, muncullah inovasi dengan membuat piranti lunak anti-plagiarisme. Ke depannya, pasti plagiator akan menemukan 1001 cara untuk melakukan plagiarisme. Maka dari itu apa pun akar dari plagiarisme yang akan terjadi di masa depan, perlu diperangi. Plagiarisme akan tetap ada karena perubahan dinamika sosial dan kemajuan teknologi. Dengan terhapusnya plagiarisme saat ini, bukan berarti perlu bersantai dan berleha-leha. Perlu terus dilakukan inovasi dan peperangan terhadap plagiarisme tiada henti.