Jumat pagi lalu, dosen statistika & probabilitas saya ngambek. Pasalnya ada kecelakaan yang menimpa beliau. Ada sepeda motor ngebut, nyerempet mobil milik Pak Dosen dan nyeruduk mobil di depannya. Alhasil, mobil Pak Dosen lecet, dan mobil di depannya penyok.

Sebenarnya dosen saya enggak peduli kalau mobilnya lecet-lecet. Lha wong di Jakarta, mobil keserempet udah biasa, kok. Maklum saja, lalu lintas selalu padat. Lebar badan jalan yang sempit juga membuat probabilitas mobil mengalami “luka” lebih besar.

Tapi tingkah si pesepeda motor ini yang bikin beliau enggak suka. Pertama, si pesepeda motor enggak mengakui kesalahannya. Kedua, malah menyalahkan dosen saya. Ketiga, minta ganti rugi atas kerusakan di motornya.

Lho. Yang menyerempet siapa, yang minta ganti rugi siapa.

Lalu beliau cerita tentang pengalamannya ketika mengambil Ph.D di Jepang.

Mengapa tidak diambil saja?

Suatu hari Pak Dosen pulang dari supermarket bersama istri dan anaknya. Beliau membawa mobil ke supermarket.

Wah, luar biasa banget, di Jepang bisa punya mobil! Padahal kan tarif parkir + pajak + bensin + tetek-bengek pemeliharaan mobil di Jepang luar biasa mahal.

Sepulangnya berbelanja, Pak Dosen hendak mengeluarkan mobilnya. Tiba-tiba ada kakek-kakek (masih bugar tentu), tergopoh-gopoh datang kepadanya dan berkata, “Sumimasen! Sumimasen!

“Maaf! Mohon maaf!”

“Lho, ada apa ini? Datang-datang meminta maaf,” pikirnya.

“Tadi pada saat saya hendak parkir, mobil saya menyerempet ujung bemper mobil Bapak! Saya mohon maaf sekali!”

“Wah, menyerempet di mana ya, Pak?”

“Itu, di situ!” ujarnya sambil menunjukkan baret sedikit di mobil Pak Dosen.

Sambil terpana, Pak Dosen berkata, “Walaaah, ini enggak kenapa-kenapa kok, Pak! Enggak kelihatan! Enggak masalah, Pak!”

“Aduh, enggak bisa begitu! Saya mohon maaf sekali. Sebagai gantinya, tolong terima uang pengganti dari saya,” ujar si kakek sambil menyerahkan uang 20.000 yen. Setara dua juta rupiah!

“Hah, apa sih, Pak. Enggak usah, enggak apa-apa! Mobil saya juga sudah siap buang, kok! Saya enggak memerlukan ini! Lagipula kalaupun saya bawa ke bengkel, ongkosnya enggak akan sebanyak ini!” ujar Pak Dosen.

Oh, ternyata mobil dosen saya mobil yang sudah siap buang. Btw, di Jepang mobil yang sudah tua harus dibuang. Untuk membuang pun harus membayar sekitar 10.000 yen.

Aduh, enggak bisa begitu, Pak! Sudah-sudah, kalau begitu lebih baik kita pergi bersama-sama ke bengkel. Nanti saya yang akan menanggung biaya perbaikan mobil bapak.”

Eh, istrinya dosen saya nyeletuk, “Udah lah, Pak, ambil saja :P”

Akhirnya ketimbang berantem kelamaan, Pak Dosen menerima uang itu meskipun sejatinya tidak ingin.

Perihal 5 persen

Selesai dengan cerita “kakek-kakek sumimasen”, dosen saya punya cerita lagi tentang pengalamannya kehilangan uang.

Uhm, saya koreksi. Temannya lah yang kehilangan uang.

Alkisah, teman Pak Dosen mendapatkan beasiswa kuliah di Jepang dari Pemerintah Indonesia. Besaran beasiswanya 200.000 yen sebulan. Uangnya turun setiap 3 bulan sekali. Ini kali pertama si teman mendapatkan jatah beasiswanya.

Uang itu harus diambil di gedung rektorat, yang jaraknya sekitar 3 km dari dorm mahasiswa. Btw, mungkin kalau di kampus UI bisa naik sepeda motor untuk pergi ke rektorat. Tapi di Jepang, hanya boleh naik sepeda onthel. Penggunaan mobil dilarang, kecuali kalau rumahnya memang benar-benar terpencil.

Si teman ini tidak terbiasa naik sepeda onthel, dengan setelan rapi pula. Akhirnya dengan susah payah ia sanggup mencapai rektorat. Masalah justru muncul sepulang dari rektorat.

Si teman harus membawa uang sebanyak 600.000 yen (setara 60 juta rupiah!). Ia bingung karena tidak membawa tas. Maka ditaruhlah uang itu di saku celananya.

Setibanya di dorm, si teman baru menyadari kalau uangnya hilang.

Jreng.

60 juta rupiah, hilang. Tentu si teman panik bukan kepalang. Akhirnya si teman menelpon dosen saya.

“Bro, uang beasiswaku hilang!” kira-kira begitulah percakapannya

“Hah, hilang di mana?” sambut dosen saya yang ikutan bingung

“Di kampus! Sewaktu pulang dari rektorat, mungkin terjatuh di jalan!”

“Wah, kalau begitu berdoa saja supaya yang menemukan mahasiswa Jepang!”

“Lho, memang kenapa kalau yang menemukan bukan mahasiswa Jepang?”

“Mungkin kamu harus mengikhlaskan uangmu.”

Tiba-tiba hening. Kalau uang itu hilang, bisa 3 bulan enggak makan!

Tak berapa lama, dosen saya menghampiri dorm kawannya. Setelah basa-basi sejenak, beliau mengajaknya pergi ke pos polisi terdekat untuk melapor.

Sesampainya di pos polisi, si kawan yang belum lancar berbahasa Jepang dipandu oleh dosen saya untuk menjelaskan kronologis kehilangan uangnya.

“Hilangnya di mana?”

“Di kampus Universitas Hiroshima, di antara gedung rektorat sampai dorm mahasiswa yang sudah berkeluarga.”

“Jam berapa hilangnya?”

“Waduh, enggak tahu tepatnya. Yang jelas sekitar jam 9 sampai 10 pagi.”

“Hmm, berapa jumlah uang yang hilang?”

“600.000 yen”

“Uangnya pecahan berapa?”

“Pecahan 10.000 yen. Jadi ada 60 lembar.”

“Wah wah. Kok ada banyak sekali sih? Itu uang apa ya?”

“Oh, jadi begini. Saya pelajar Indonesia, dan belajar di Jepang atas biaya dari Pemerintah Indonesia. Itu adalah uang beasiswa dari pemerintah kami untuk biaya hidup selama 3 bulan.”

“Oh begitu, ya. Wah wah, Anda bisa menjelaskan dengan rinci dan tepat. Baiklah, uangnya sudah ada di sini. Ini dia. Sekarang, tolong tanda tangani tanda terima ini, ya.”

Sontak si teman ini terharu. Ia langsung sujud syukur di tempat. Pak polisinya langsung heran 😛

Setelah menandatangani, pak polisi menjelaskan kalau penemu uang itu namanya Yamada. Di situ tertera nomor rumahnya. Untuk apa? Ternyata peraturan di Jepang menyebutkan bahwa penemu barang hilang berhak atas 5% dari nilai barang hilang tersebut.

Sepulangnya dari pos polisi, si teman dibantu oleh dosen saya menelpon Yamada-san. Berbasa-basilah mereka berdua. Meskipun baik, tapi Yamada-san ini fair. Ia menghendaki 5% haknya tersebut. Yamada-san meminta dosen saya untuk menyambangi rumahnya. Tapi apa dinyana, dosen saya enggak paham banget daerah situ. Akhirnya Yamada-san berjanji akan mendatangi dorm si teman pada pukul 2 siang.

Jam 2 teng, Yamada-san mengetuk pintu rumah si teman.

Masuklah Yamada-san ke ruang tamu. Berbasa-basilah mereka bertiga. Ditanyalah uang apa itu, mengapa banyak sekali. Ditanya juga berapa lama belajar di Jepang, etc.

Ketika hendak meminta haknya, Yamada-san kaget dengan kehadiran istri si teman. Ditanyalah, siapa itu. Ditanya juga siapa empat anak kecil yang ada di dorm itu. Dijelaskanlah oleh dosen saya kalau wanita itu adalah istrinya, dan empat anak kecil-kecil itu adalah putra dari si teman.

Tiba-tiba Yamada-san terdiam. Kemudian ia menolak haknya yang 5% itu. Ujarnya, lebih baik digunakan oleh si teman saja. Yamada-san pun izin pamit.

Bagaimana kondisi Jepang saat ini?

Itu adalah kondisi sekitar 20 tahun silam. Nah, sekarang gimana?

Liburan kemarin, teman saya yang kuliah di Nagoya bersilaturahmi ke rumah. Dia bercerita bahwa di Jepang, keadaannya memang persis seperti yang diceritakan di atas. Berarti, kondisi sosial budaya masyarakat Jepang masih awet hingga saat ini!

Perihal kehilangan, ia juga pernah kehilangan dompet. Ketika diambil, isinya enggak berkurang satu sen pun. Luar biasa, ya.

Begitu juga tentang naik sepeda. Profesor yang berdasi pun ke kampus naik sepeda. Peraturan membuang mobil juga masih bertahan hingga saat ini.

Bahkan saking rendahnya tingkat kriminalitas di Jepang, jika ada peristiwa penculikan atau pembunuhan di Jepang, beritanya bisa bertahan di surat kabar hingga 3 bulan! 3 bulan!

Luar biasa, ya.

Menarik lho, untuk mempelajari yang seperti itu. Soalnya sudah 20 tahun lebih, dan tetap saja beradab!